Lima Dasar Pembinaan Ummat Unggulan

(Intisari khutbah Jum’at tanggal, 24 Maret 2006 M / 24 Shaffar 1427 H)
Oleh : KH. M. Nadjid Mukhtar, MA 

Dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 110, Allah SWT menyatakan tingginya kedudukan ummat Islam di tengah masyarakat lainnya, yaitu sebagai ummat terbaik, ummat unggulan atau Khairu ummah. Firman-Nya :كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ , artinya : “Kamu ada­lah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. 3 Ali Imran : 110).
Mereka pantas memperoleh kedudukan tinggi itu karena mereka selalu mempunyai keyakinan dan keimanan yang benar dan teguh akan adanya Allah SWT dan keesaan-Nya serta iman akan kebenaran semua ajaran-Nya. Mereka juga selalu melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf artinya selalu melakukan dan mengajak orang lain untuk melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, duniawi, dan ukhrawi. Sedang nahi munkar artinya selalu menolak dan mencegah segala hal yang dapat merugikan, merusak, dan merendahkan nilai-nilai kehidupan masyarakat.
Hal ini juga diungkapkan Allah pada ayat sebelumnya, artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS. 3 Ali Imran : 104). Rasulullah juga bersabda, yang artinya : “Siapapun di antara kamu melihat kemunkaran maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangan (kekuasaan-Nya), kalau dia tidak mampu (tidak memiliki kekuasaan) maka dengan lidah / ucapannya, kalau (yang inipun) dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman” (Al-Hadits)
Tiga ciri ini, yaitu berkeimanan, beramar ma’ruf, dan bernahi munkar merupakan syarat bagi lahirnya suatu masyarakat unggulan / ummat terbaik; yaitu suatu masyarakat yang di dalamnya berlangsung tata ke­hidupan yang manusiawi, tata kehidupan yang sendi-sendinya didasarkan atas persaudaraan, kesetiakawanan, saling percaya, kejujuran dan keadilan.
Dalam kondisi ini, setiap warga akan terpenuhi kebutuhan lahiriahnya dan batiniahnya, duniawinya dan ukrawinya, yang oleh Imam Ghazali disebut masyarakat “Maslahah” yang senantiasa didambakan oleh setiap muslim dalam do’a: رَبَّنَآأَتِنَاِفىالدُّنْيَاحَسَنَةً وَِّفىاْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَاعَذَابَاالنَّارِ , artinya : “Tuhan kami, ka­runia­kanlah kepada kami di dunia ini kebaikan dan di akhirat (nanti) kebaikan (pula) dan hindarkanlah kami dari siksa neraka” (QS.2 Al Baqarah : 201). Dan firman Allah,بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُوْرُ , artinya : “Negeri yang thayyib (sentosa) dan Tuhan yang senantiasa memberikan ampunan” (QS. 34 Saba : 15).
Untuk mewujudkan masyarakat unggulan yang semestinya mampu dilakukan oleh ummat Islam seperti dinyatakan Allah di atas, maka setiap muslim dalam kedudukan dan dalam profesi apapun, terutama sebagai pemimpin; baik pemimpin rumah tangga, masyarakat dan bangsa harus menghiasi dirinya dengan nilai-nilai dasar terpuji yaitu nilai terpuji yang menghiasi pribadi Rasulullah SAW panutan kita. Ada lima nilai dasar terpuji yang dirumuskan oleh para ulama antara lain sebagai berikut :
1. اَلصِّدْقُ (Kejujuran, kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan).Bentuk pengamatan shidq ini adalah jujur dalam pikiran, kata-kata, dan perbuatan. Orang yang shadiq ataupun yang menjadikan sifat shidq sebagai ciri khasnya sehingga dapat disebut sebagai shiddiq, ia akan mendapat kedudukan tinggi di sisi Allah bersama para Nabi dan syuhada. Mereka inilah yang selalu menga­ta­kan yang sebenarnya diketahui, tidak menutupi kesalahan, baik yang dilakukan dirinya, maupun oleh kawannya, serta menjaga satunya kata dengan perbuatan, menjauhi kebohongan, termasuk jujur dalam berdiskusi dan bermusyawarah.
2. الأَمَانَةُ (Selalu menepati janji dan bertanggung jawab dalam melaksanakan hal-hal yang dipercayakan kepada­nya)Orang-orang pengemban amanah ini senantiasa memegang teguh amanat. Amanat kepada Tuhan dengan menyadari tugas kekhalifahannya di bumi sehingga ia selalu menjadi al-mushlih (yang memperbaiki), bukan sebagai al-mufsid (yang merusak). Amanat kepada keluarga dengan membimbing dan mendidik mereka kepada tuntunan ilahi, serta tidak memberikan nafkah kecuali yang halal lagi baik; Amanat kepada sesama anggota masyarakat dengan selalu mengajak dan berwashiyat (tawâshau) kepada kebaikan (al-khair) atau al-ma’ruf serta kepada kesabaran dan amanat kepada diri sendiri dengan menghindarkan segala yang haram baik dalam profesi maupun konsumsinya. Rasulullah bersabda لاَدِيْنَ لِمَنْ لاَاَمَانَةَ لَهُ , artinya : “Tidaklah ada agama bagi orang yang tidak amanah” (HR. Addailami).
3. اَلْعَدَالَةُ (Bersikap dan berlaku adil)Ini mengandung pengertian berpihak dan berpegang kepada yang benar, tidak sewenang-wenang, bertin­dak sepatutnya dan tidak berat sebelah. Bentuk pengamalannya selalu bersedia untuk saling tawashau, saling mengingatkan antara sesamanya, saling menyuarakan kebenaran dan sikap kesabaran, serta saling menghar­gai pendapat yang lain, tidak memaksakan kehendaknya sendiri tanpa mau memahami kepentingan dan kehen­dak pihak lain. Kebenciannya terhadap seseorang atau satu kelompok tidak menjadikannya menahan hak-hak mereka, baik berupa harta ataupun penghargaan prestasi.
Sebaliknya, kasih dan sayangnya tidak membutakan matanya untuk bersikap tegas dalam memberi hukuman. Karena sesungguhnya sifat adil inilah yang selalu men­dekatkan orang kepada ketakwaan. Allah berfirman : اِعْدِلُوْاهُوَاَقْرَبُ ِللتَّقْوى  “Adillah karena ia lebih dekat kepada takwa” (QS.5 Al Maaidah : 8)
4. اَْلأُخُوَّةُ والتَّعَاوُن Menjaga persaudaraan dan persatuan serta saling membantu sesamanya.Untuk itu, setiap muslim harus menyadari bahwa dia bersaudara dengan orang lain, baik sesama muslim (ukhuwwah islâmiyah), sesama bangsanya (ukhuwwah wathoniyah), maupun sesama manusia (ukhuwwah basyariyah). Ketiga macam ukhuwah tersebut tidak perlu ditentangkan, tetapi harus diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi. Hal ini akan menciptakan rasa kebersamaan, bukan memperuncing perbedaan.
5. الإٍسْتِقَامَةُ  (Berlaku konsisten, ajeg dan senantiasa berada dan mengikuti jalan kebenaran menurut Allah) Imam Ghazali menyatakan, artinya : “Tidak baiknya suatu kebajikan yang tidak konsisten, bahkan keburukan yang sesekali dilakukan lebih baik daripada kebajikan yang tidak konsisten / ajeg”.Islam selalu menganjurkan umatnya untuk memiliki sifat istiqomah dalam kebajikan. Bagi mereka yang selalu istiqomah dijamin akan terhindar dari kerisauan, kekhawatiran dan ketakutan (di hari kiamat), baik dalam kehidupan di dunia ini maupun pada hari kiamat nanti, bahkan mendapat berita gembira dengan janji dan jaminan masuk surga.

jumat pon 23/10/2010