Oleh : KH. Thanthowi Jauhari Musaddad, MA

Setiap hari melalui media massa kita mendengar penipuan, perampokan, korupsi, bahkan pertikaian dan pembunuhan yang terjadi mulai dari terminal sampai ke tingkat Lembaga Tinggi Negara dan kesemuanya terjadi semata-mata berlatar belakang mencari kepuasan materi. Hal ini menunjukan adanya proses pergeseran sudut pandang sebahagian dari bangsa ini terhadap materi, dengan menempatkan materi sebagai akhir tujuan hidupnya.
Kenyataan ini merupakan indikasi adanya proses degradasi nilai-nilai kultur bangsa.
Dalam khutbah yang singkat ini kita mencoba mengangkat pandangan Islam terhadap materi, dengan harapan semoga kita dapat memandangnya sebagaimana mestinya.

Misi Manusia Di Muka Bumi :
Kehidupan Adam AS di surga digugat Iblis dengan alasan pemberian kemuliaan tanpa proses uji kelayakan, Iblis pun diangkat menjadi penggoda, setelah berhasil menggoda Adam AS keduanya menjalani uji kelayakan di alam dunia yang sifatnya sementara dengan ketentuan; bagi keturunan Adam AS yang berhasil mempertahankan kemuliaan, berhak kembali ke “alam mulia” (surga). Adapun yang gagal dan tergoda akan bersama Iblis di neraka.
Dengan demikian misi utama kehidupan manusia di muka bumi adalah ; Mempertahankan kemuliaan untuk dapat kembali ke “alam mulia”, hidup abadi di sisi Yang Maha Mulia.
Di samping lambang kemuliaan, agama berfungsi sebagai petunjuk jalan ke “alam mulia” sekaligus me­rupa­kan perisai dari serangan yang menghancurkan.
Fungsi Materi :
Segala yang dialami manusia di alam dunia merupakan agenda ujian (kaya-miskin, sehat-sakit, berpang­kat-tidak) semua ditinggal mati, dan yang dibawa hanya kesuksesan atau kegagalan dalam menjaga kemuliaan, sebagai nilai dari sikap terhadap agenda ujian tersebut. Maka sebenarnya materi bagi manusia hanya sebagai alat untuk menjaga kemuliaan, dan bukan sebaliknya.
Dari sudut status materi tidak terlepas dari hibah atau titipan. Pertanda hibah, bila pemberi tidak menanyakan kembali, sementara bila menanya ulang berarti materi itu berstatus titipan.
Menurut Al Qur’an materi merupakan nikmat yang akan dipertanyakan di hari kemudian ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ , ini pertanda titipan. Berarti orang kaya merupakan penerima banyak titipan dan hutang kepada Allah SWT, sementara hutang kepada Allah SWT cukup dibayar 2,5% lewat zakat yang akan menjadi deposito abadi di hari kemudian dengan imbalan 700 kali lipat. Dengan demikian orang akan diaudit dan dihisab lebih lama dibanding orang miskin. Sehingga materi yang halal akan dihisab sedangkan yang haram diancam adzab. Inilah konsekuen status materi sebagai titipan.

Pengelola Titipan Harus Patuh
Harta titipan bukan untuk dimiliki, karena manusia yang mengelolanya pun bagian dari yang dimiliki oleh Maha Pencipta. Posisi manusia terhadap materi bagaikan bendahara yang mengelola uang atas petunjuk / perintah pemilik, dan ketika pensiun / mutasi ia harus mempertanggung jawabkan dan menyerahkan semua aset titipan kepada bendahara yang baru.
Maka dari itu dalam segala upaya pencarian materi dan pengelolaannya harus patuh dan tunduk kepada aturan Maha Pemilik, dan ketika mati semua harta titipan diwariskan kepada geneasi penerusnya dan yang dibawa hanya nilai kesuksesan atau kegagalan di dalam menjaga kemuliaan ketika berupaya mencari dan mengelola titipan tersebut.
Menurut agama, mencari nafkah hukumnya wajib, bila dilakukan mendapatkan pamrih ukhrowi / nilai ibadah / nilai ibadah berupa Ampunan, Pahala, dan Derajat (APD) disamping menghasilkan pamrih duniawi berupa keuntungan harta. Sehingga ketika orang merugi dalam hal materi, sebenarnya ia telah beruntung dengan pamrih ukhrowinya (APD).
Dalam materi ada unsur iman kepada qodla-qodar. Dua lembaga usaha yang memiliki kesamaan asset, bidang yang memiliki kesamaan, bidang usaha dan kemampuan, ternyata yang satunya untung dan yang lainnya rugi.
Dalam materi ada unsur barokah. Dua orang penerima rizki yang sama, kalau tidak barokah, rizki tersebut akan cepat habis dipakai membiayai sakit / musibah, tetapi rizki barokah akan awet dan menghasilkan banyak manfaat.
Menurut hadits, seseorang tidak akan mati kecuali jika jatah rizkinya telah habis. Rizki bagai air dalam tabung dengan dua kran, kran pertama mengalirkan rizki lewat jalan halal, dan kran ke dua lewat jalan haram.
Pembukaan kran halal akan mendapatkan APD, sementara kran haram akan mengakibatkan dosa yang bila dimakan dan menjadi darah daging maka tidak ada lagi yang mampu membersihkannya kecuali penyakit atau musibah di alam dunia atau adzab di hari Kemudian.
Kalau pencarian materi lewat dua kran, maka pemanfaatannya pun lewat dua cara.
Ø Pertama : Sesuai dengan aturan Maha Pemilik, seperti pemberian nafkah, zakat / shodaqoh yang imbalan­nya abadi dan berlipat ganda disamping APD.
Ø Kedua : Tidak sesuai dengan aturan-Nya atau sebatas koleksi, kemudian ditinggal mati yang pada akhirnya mengalami kegagalan dalam mempertahankan kemuliaan.
Dengan demikian sebenarnya harta yang diinfaqkan menjadikan kepemilikannya, tetapi pertanggung jawaban­nya tetap tidak hilang.
Yang terpenting dalam materi bukanlah kuantitasnya namun cara mendapatkan dan memanfaatkannyalah yang akan menentukan seseorang tersebut mulia atau hina. Demi menjaga kemuliaan jika perlu dengan cara mengorbankan materi dan bukan sebaliknya.
Semoga dengan wasilah mendengarkan dan menghayati khutbah ini, Allah SWT memberikan taufiq dan hidayah-Nya dengan tetap pada keyakinan bahwa materi hanya sebagai sarana menjaga kemuliaan.
Lebih jauh, semoga kita tetap berhati-hati dalam hal mencari dan memanfaatkan materi, dengan senan­tiasa menjadikan tujuan meraih kemuliaan di sisi Allah SWT sebagai misi utama kehidupan manusia di alam dunia.
Marilah kita hidup dengan cara mulia agar dapat kembali ke “alam mulia” (asal kehidupan manusia), hidup kekal abadi di sisi Yang Maha Mulia. Amien Ya Robbal ‘Alamin.

jumat pon 22/10/2010