Aada beberapa pembaca yang memberikan tanggapan. Intinya yang bersangkutan merasa ada ganjalan dengan penetapan bulan-bulan ibadah dengan hisab. Kenapa tidak memakai rukyat yang diajarkan oleh Rasulullah? Pembaca lain menanggapi bahwa untuk Iduladha supaya mengikuti Arab Saudi saja. Oleh karena itu sekali lagi perlu diturunkan penjelasan tentang mengapa harus menggunakan hisab dan tidak menggunakan rukyat.
            Sebelum lebih lanjut masuk ke masalah ini, terlebih dahulu secara lengkap tanggapan kedua pembaca di atas dikutipkan di sini secara utuh sebagai berikut:
"Mohon maaf, saya besar dan hidup di lingkungan Muhammadiyah, namun ada yang sedikit mengganjal tentang penetapan awal puasa dan lebaran. Kenapa lebih mengutamakan dengan hisab bukan dengan melihat hilal. Ya walaupun saya juga sadar ilmu astronomi berkembang pesat, namun ilmu yang terbaik adalah ilmu yang datang dari sisi Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw. Hasil dari melihat secara langsung hilal dibanding dengan perkiraan bukankah lebih mantap dengan melihat hilal? Mohon maaf, saya ini hamba Allah yang masih fakir ilmu. Jika saya salah, tolong diingatkan."
Pembaca lainnya menulis,
“Menurut saya khusus untuk 10 Dzulhijjah walaupun sudah ada perhitungan tepat, pada waktunya ikutin saja pelaksanaan ibadah haji. Kalo jamaah haji wukuf hari Senin, ya Selasanya Idul Adha.  Wallahu a'lam.”
           Apa yang dikemukakan oleh kedua penanggap di atas bukanlah perasaan pribadi, melainkan merupakan pandangan banyak orang, bahkan di tingkat dunia. Pada berbagai konferensi dan pertemuan internasional tentang hisab dan rukyat masalah tersebut selalu muncul. Terakhir dalam Konferensi Astronomi Emirat Kedua yang dilaksanakan awal Juni baru lalu, salah seorang pembicara, yakni Dr. Nidhal Guessoum, menyatakan bahwa kita harus membuat kalender hijriah bizonal (kalender hijriah yang membagi dunia menjadi dua zona penanggalan) demi menghindari memasuki bulan kamariah baru, tanpa terjadinya rukyat di dunia Islam [walaupun yang beliau maksud dengan rukyat bukan rukyat sesungguhnya karena rukyat sesungguhnya tidak bisa membuat kalender, tetapi maksudnya adalah hisab imkanu rukyat]. Jadi aspirasi rukyat masih melekat kuat pada banyak orang. Begitu pula pandangan mengikuti Arab Saudi, juga banyak diamalkan. Pemerintah Mesir, misalnya, khusus untuk bulan Zulhijah mengikuti Arab Saudi karena haji dan puasa Arafah. Akan tetapi untuk Ramadan, Idulfitri dan bulan-bulan lain Mesir membuat penetapan sendiri yang bisa saja berbeda dengan Arab Saudi. Barangkali penanggap di atas pernah atau sedang kuliah di sana.
            Kembali ke persoalan kita, akan halnya ilmu Allah yang diturunkan kepada dan diajarkan oleh baginda Rasulullah saw haruslah difahami secara kaffah, tidak hanya sebagian-sebagian. Di dalam ilmu Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw itu ada perintah-perintah dan larangan-larangan. Perintah dan larangan itu ada yang tidak berilat (tidak berkausa, tidak disertai keterangan sebab/alasan) dan ada yang berilat. Perintah Rasulullah saw agar salat zuhur empat rakaat dan salat subuh dua rakaat, misalnya, tidak ada kausanya (ilatnya) mengapa penetapan baginda itu demikian. Kalau dipikir-pikir menurut akal, mestinya salat zuhurlah yang dua rakaat karena biasanya para pekerja di pabrik atau di kantor mempunyai waktu istirahat siang hanya singkat, terkadang tidak cukup untuk salat dan makan siang ditambah mengaso sedikit. Sebaliknya di subuh hari orang masih punya banyak waktu dan sekalian sambil olah raga, sehingga mestinya rakaat salatnya lebih banyak. Itu semua menurut akal. Perintah baginda tersebut tidak dapat diakal-akali, karena merupakan perintah yang tidak berilat, dan semua orang harus menjalankan apa adanya sesuai perintah itu. Kata Imam al-Gazzali, ketentuan tak berilat ini kebanyakannya dalam hal-hal ibadah, walaupun ada juga dalam selain ibadah.
            Macam kedua perintah dan larangan itu adalah perintah dan larangan yang berilat, yaitu ada keterangan sebab (alasan) mengapa diperintahkan atau dilarang seperti itu. Ilat perintah atau larangan itu ada yang disebutkan secara bersamaan dengan penyebutan perintah atau larangannya, dan ada pula yang disebutkan terpisah, bahkan ada yang tidak disebutkan sama sekali, namun dapat ditemukan melalui ijtihad. Diagramnya dapat dilihat sebagai berikut:
Contoh ilat yang disebutkan bersamaan adalah ilat kebolehan tidak berpuasa Ramadan di bulan Ramadan. Ilatnya ialah bepergian (safar) atau sakit. Ilat safar dan sakit ini disebutkan mengiringi perintah puasa Ramadan. Sedangkan ilat yang disebutkan terpisah, dan ini yang penting di sini, contohnya adalah ilat perintah rukyat. Perintah rukyat disebutkan dalam hadis, “Berpuasalah kamu karena telah melihat hilal, dan beridulfitrilah karena telah melihat hilal” [Diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis]. Ilat perintah rukyat ini disebutkan terpisah dalam hadis lain, walaupun keduanya masih sama-sama dalam kitab puasa. Hadis yang menerangkan ilat perintah rukyat itu adalah sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi, dalam arti tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab” [riwayat jamaah ahli hadis]. Menurut ulama-ulama besar seperti Syeikh Muhammad Rasyid Rida, Mustafa az-Zarqa, dan Yusuf al-Qaradawi perintah rukyat (melihat hilal) itu adalah perintah berilat dan ilatnya adalah karena umat pada umumnya di zaman Nabi saw adalah ummi, yakni belum mengenal tulis baca dan belum bisa melakukan perhitungan hisab. Untuk mengetahui pendapat ketiga ulama ini baca terjemahannya dalam edisi ke-2 dari buku Muhammad Rasyid Rida dkk., Hisab Bulan Kamariah: Tinjauan Syar‘i tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal dan Zulhijah, diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, 2009.
            Menurut Rasyid Rida lebih lanjut, adalah tugas Rasulullah saw untuk membebaskan umatnya dari keadaan ummi itu dan beliau tidak boleh membiarkan mereka terus dalam keadaan ummi tersebut. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah, “Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan mereka sendiri untuk membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan kebijaksanaan. Sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata” [Q. 62:2]. Dari kenyataan ini kemudian Rasyid Rida menyimpulkan bahwa “hukum keadaan ummi berbeda dengan hukum keadaan telah mengetahui baca-tulis dan kebijaksanaan.”
            Maksud beliau adalah bahwa pada zaman di mana orang belum dapat melakukan perhitungan hisab, seperti di zaman Nabi saw, maka digunakan rukyat karena itulah sarana yang tersedia dan mudah pada zaman itu. Akan tetapi setelah masyarakat mengalami perkembangan peradaban yang pesat di mana penguasaan astronomi sudah sedemikian canggih, maka tidak diperlukan lagi rukyat. Ini sejalan pula dengan kaidah hukum Islam yang menyatakan, “Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat.” Artinya apabila hisab belum bisa dilakukan karena belum ada yang menguasainya, maka digunakan rukyat. Akan tetapi setelah umat tidak lagi ummi di mana penguasaan astronomi telah maju dan dapat diterapkan secara akurat, maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Kita cukup menggunkan hisab. Bahkan Syeikh Ahmad Syakir seorang ahli hadis ­– yang oleh al-Qaradawi dikatakan sebagai seorang salafi tulen yang biasanya hanya mengamalkan hadis secara harfiah ­– menegaskan, “Pada waktu itu adalah saya dan beberapa kawan saya termasuk orang yang menentang pendapat Syaikh Akbar itu [yakni Syeikh al-Maraghi yang berpandangan hisab, pen.]. Sekarang saya menyatakan bahwa ia benar, dan saya menambahkan: wajib menetapkan hilal dengan hisab dalam segala keadaan, kecuali di tempat tidak ada orang yang mengetahui ilmu itu.”
            Rasyid Rida, az-Zarqa, dan al-Qaradawi menyatakan bahwa rukyat itu bukan bagian dari ibadah itu sendiri dan bukan tujuan syariah, melainkan hanya sarana (wasilah) saja. Oleh karena itu apabila kita telah menemukan wasilah yang lebih akurat, maka kita harus menggunakan sarana yang lebih akurat tersebut. Secara khusus al-Qaradawi menegaskan, “mengapa kita tetap jumud harus bertahan dengan sarana yang tidak menjadi tujuan syariah sendiri.” 
            Apabila kita mengamati semangat al-Quran, kita melihat bahwa kitab suci ini memerintahkan pengorganisasian waktu secara cermat karena kalau tidak akan menimbulkan kerugian (Q. 103: 1-3). Tetapi kitab ini tidak hanya memerintahkan melakukan pengorganisasian waktu saja secara cermat, tetapi juga memberi beberapa petunjuk pokok tentang caranya. Yaitu dengan mengamati langit dan berbagai benda langit yang ada. Dalam kaitan ini Allah menegaskan bahwa Matahari dan Bulan itu dapat diprediksi dan dihitung geraknya [Q. 55: 5]. Ini bukan hanya sekedar penegasan deklaratif semata, melainkan merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan supaya dilakukan perhitungan karena banyak kegunaannya bagi kehidupan manusia. Antara lain kegunaannya adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan penandaan waktu [Q. 10: 5]. Oleh karena itu tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa semangat al-Quran sendiri adalah hisab, bukan rukyat. Hal ini membawa seorang ulama Yordania, Syeikh Syaraf al-Qudhah, kepada kesimpulan bahwa, “Pada asasnya penentuan awal bulan adalah dengan hisab.”
            Jadi demikianlah ilmu Allah yang diajarkan oleh baginda Rasulullah saw sebagaimana difahami oleh ulama-ulama tersebut. Sekarang kita lanjutkan, selain alasan sayr’i di atas masih ada sejumlah alasan ilmiah dan praktis. Pertama, pengamalan rukyat mengakibatkan tidak bisa membuat sistem penanggalan. Alasannya sederhana, yakni awal bulan baru, baru bisa diketahui pada h-1 dan tidak bisa diketahui jauh hari sebelumnya. Menurut Prof. Dr. Idris Bensari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, umat Islam sampai hari ini belum dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan berlaku secara terpadu bagi seluruh umat Islam dunia disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada rukyat.
Penggunaan rukyat telah mengakibatkan timbul beberapa masalah sivil dan agama. Kaum minoritas Muslim pekerja di Eropa dan Amerika tidak dapat meminta cuti hari raya (id), karena setiap kali mereka mengajukannya ke perusahaan tempat mereka bekerja, mereka ditanya tanggal berapa id itu jatuh, agar bisa disiapkan pengganti mereka hari itu, mereka tidak dapat memberikan jawaban pasti, karena jatuhnya hari id itu baru dapat ditentukan sehari sebelumnya melalui rukyat dan tidak dapat ditentukan jauh hari sebelumnya karena tidak ada kalender yang pasti. Karena tidak dapat memberikan kepastian mereka tidak dapat diberi cuti.
            Kedua, rukyat tidak dapat menyatukan tanggal dan karenanya tidak dapat menyatukan momen-momen keagamaan umat Islam di seluruh dunia dalam hari yang sama. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda hari selebrasi momen keagamaan mereka. Hal itu karena pada hari terjadinya rukyat awal bulan baru, rukyat itu terbatas jangkauannya dan tidak meliputi seluruh permukaan bumi. Akibatnya ada bagian muka bumi yang sudah berhasil rukyat, dan ada bagian muka bumi yang tidak dapat merukyat. Yang sudah berhasil rukyat memasuki bulan baru malam itu dan keesokan harinya, sedang yang belum dapat merukyat memasuki bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan hari raya misalnya. Untuk dapat melihat kenyataan ini, mari kita lihat beberapa proyeksi dan visualisasi rukyat ke atas peta bumi, seperti berikut [perhitungan dan peta dibuat berdasarkan al-Mawaqit ad-Daqiqah].

Ragaan 1 : Rukyat Syawal 1439 H
Ketiga ragaan di sebelah kiri memvisualisasikan rukyat hilal. Kawasan di dalam lengkungan kurve rukyat adalah kawasan yang dapat melihat hilal, sementara yang di luarnya tidak dapat merukyat. Ragaan 1 menampakkan rukyat hilal Syawal 1439 H pada hari Kamis petang 14-06-2018 M sesaat sesudah matahari terbenam. Pada sore Kamis itu yang diperkirakan dapat melihat hilal Syawal 1439 H adalah sebagian besar benua Amerika, seluruh benua Afrika, sebagian kecil benua Eropa dan Asia. Indonesia terbelah: seluruh Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya termasuk Babel serta sebagian Jawa termasuk Pelabuhanratu dapat merukyat hilal Syawal 1439 H bilamana cuaca terang dan baik. Seluruh Austraia, sebagian benua Amerika, sebagian besar Eropa dan Asia tidak dapat melihat hilal Syawal 1439 H sore Kamis 14-06-2018 M.
Ini menggambarkan bahwa rukyat tidak pernah dapat menyatukan penanggalan Islam di seluruh dunia. Kalau kita konsekuen memegangi hadis-hadis rukyat secara harfiah, maka kawasan yang belum dapat merukyat mestinya belum memasuki bulan baru meskipun satu negara, karena ada di antara versi hadis rukyat itu yang menegaskan jangan berpuasa atau beridulfitri sebelum melihat hilal.
 Ragaan 2 : Rukyat Zulhijah 1439 H
 Ragaan 3 : Rukyat Zulhijah 1455 H
 
Ditambah lagi dengan hadis Kuraib yang terkenal itu yang menyatakan bahwa rukyat tidak dapat ditranfer ke kawasan yang tidak berhasil merukyat seperti rukyat Damaskus tidak dapat ditransfer ke Madinah sebagaimana ditegaskan dalam hadis tersebut meskipun kedua kotaAda yang mengatakan rukyat dapat ditransfer (diberlakukan ke daerah yang tidak bisa merukyat) sejauh batas salat belum dapat diqasar. Ada yang berpendapat boleh ditransfer ke negeri berdekatan, bahkan ada yang berpendapat boleh transfer rukyat ke seluruh dunia, walapun pendapat ini secara astronomis adalah mustahil. Di zaman modern, para pendukung kalender bizonal (kalender yang membagi dunia ke dalam dua zona tanggal dan kalender yang disemangati rukyat) membolehkan transfer rukyat dalam satu zona tanggal (separoh muka bumi, karena transfer ke seluruh muka bumi mustahil). Jadi apabila rukyat terjadi di suatu tempat di zona barat, rukyat itu dapat diberlakukan ke seluruh zona itu, dan tidak dapat diberlakukan ke zona timur. Akibatnya tanggal antara kedua zona itu tidak bisa disatukan, timbul masalah puasa Arafah seperti akan dijelaskan. itu waktu itu satu negara. Oleh karena itu timbul perbedaan pendapat di kalangan para ulama pendukung rukyat tentang boleh atau tidaknya transfer rukyat, dan kalau boleh sejauh mana.
             Itulah problematika rukyat. Metode ini tidak dapat menyatukan kalender Islam secara menyeluruh dengan mencakup seluruh dunia. Karena itu dalam Temu Pakar II tahun 2008 para peserta yang hadir menyimpulkan bahwa untuk menyatukan kalender umat Islam sedunia tidak ada jalan lain kemcuali menggunakan hisab.
             Ketiga, rukyat menimbulkan problem pelaksanaan puasa Arafah, karena rukyat itu terbatas liputannya. Bisa terjadi bahwa di Mekah belum ada rukyat sementara di daerah lain (sebelah barat) sudah terjadi rukyat. Atau di Mekah sudah terjadi rukyat sementara di kawasan lain (sebelah timur) belum terjadi rukyat. Problemnya adalah bahwa rukyat dapat menyebabkan orang di kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Iduladha di kawasan ujung barat itu dan puasa pada hari raya dilarang. Bagi kawasan di sebelah timur Mekah, problemnya adalah bisa jadi hari wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan tanggal 8 Zulhijah di kawasan ujung timur bumi. Hal ini dapat dilihat pada contoh kasus Zulhijah 1439 H dan 1455 H pada ragaan 2 dan 3.
Ragaan 2 memperlihatkan bahwa hilal Zulhijah 1439 H pada Sabtu sore 11-08-2018 M hanya terlihat pada kawasan kecil dari muka bumi, yaitu di Samudera Pasifik sebelah timur Garis Tanggal Internasional (GTI). Rukyat tersebut pada hari Sabtu tidak mencapai daratan benua Amerika. Rukyat hanya dapat terjadi pada sore itu di Kepulauan Hawai dan pulau-pulau lain di Pasifik sebelah timur GTI. Di ibukota Honolulu ketinggian Bulan sore Sabtu tersebut 09º 7’ 49”. Jadi sudah cukup tinggi untuk dapat dirukyat. Ini artinya orang-orang Muslim di Negara Bagian Hawaii itu memasuki tanggal 1 Zulhijah 1439 H pada hari Ahad 12-08-2018 M, dan tanggal 9 Zulhijah (hari puasa Arafah) jatuh hari Senin 20-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Iduladha) jatuh hari Selasa 21-08-2018 M.
             Sementara itu Mekah pada hari Sabtu sore belum bisa merukyat meskipun Bulan sudah di atas ufuk, karena posisinya masih amat rendah, yaitu 02º 12’ 27”. Data astronomis Bulan pada sore Sabtu 11-08-2018 M di Mekah itu belum memenuhi kriteria Istambul 1978 dan kriteria paling mutakhir dari Audah. Bahkan diteropong pun juga belum akan terlihat. Ini artinya Mekah akan memasuki 1 Zulhijah lusa hari konjungsi, yaitu pada hari Senin 13-08-2018 M, dan 9 Zulhijah (wukuf) jatuh hari Selasa 21-08-2018 M dan 10 Zulhijah (hari Iduladha) jatuh pada hari Rabu 22-08-2018 M. Jadi dalam kasus ini hari Arafah di Mekah yang jatuh hari Selasa 21-08-2010 M bersamaan dengan Iduladha di Hawaii, sehingga orang Muslim di sana tidak mungkin melaksanakan puasa Arafah sebab berpuasa pada hari raya dilarang hukumnya [tetang hari Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan Iduladha di zona barat baca dalam website ini dua artikel, yaitu: KORESPONDENSI KALENDER HIJRIAH INTERNASIONAL: DARI JAMALUDDIN KEPADA SYAMSUL ANWAR, dan satu lagi DARI SYAMSUL ANWAR KEPADA JAMALUDDIN].
 Jadi rukyat menyebabkan umat Islam di kawasan waktu ujung barat tidak dapat melaksanakan puasa Arafah. Inilah mengapa rukyat terpaksa harus ditinggalkan. Oleh karena itu pula kita tidak dapat dengan enteng mengatakan bahwa untuk haji, bila di Mekah jamaah haji wukuf, maka kita puasa Arafah dan besoknya lebaran haji. Kalau orang di kawasan zona waktu barat menunda masuk bulan Zulhijah yang hilalnya sudah terpampang di ufuk mereka demi menunggu Mekah, maka ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau, serta melanggar ketentuan bahwa “apabila kamu telah melihat hilal puasalah, dan apabila kamu melihatnya berharirayalah.” 
             Kasus paralel ditampilkan oleh ragaan 3 di atas. Sebalik dari ragaan 2, pada ragaan 3 rukyat Zulhijah 1455 H sudah dimungkinkan di Mekah bilamana cuaca terang dan baik pada hari Ahad 19-02-2034 M dengan ketinggian Bulan 06º 35’ 12” dan busur rukyat (arc of vision) 08º 16’ 32”. Data ini telah memenuhi kriteria rukyat Istambul 1978 dan kriteria Audah. Jadi Mekah memasuki 1 Zulhijah 1455 H pada hari Senin 20-02-2034 M, 9 Zulhijah 1455 H pada hari Selasa 28-02-2034 M dan 10 Zulhijah (Iduladha) pada hari Rabu 1 Maret 2034 M. Sementara itu di Indonesia belum dimungkinkan rukyat pada hari Ahad 19-02-2034 M itu karena posisi hilal masih rendah, di Pelabuhanratu baru 03º 02’ 19”. Ketinggian ini menurut kriteria internasional belum memungkinkan rukyat, sehingga Indonesia akan memasuki 1 Zulhijah pada hari Selasa 21-02-2034, 9 Zulhijah jatuh hari Rabu 1 Maret 2034 M, dan iduladha jatuh kamis 2 maret 2034 M. Dari sini terlihat bahwa hari Arafah di Mekah (Selasa 28-02-2034 M) jatuh bersamaan 8 Zulhijah di Indonesia. Di sini timbul pertanyaan apa orang puasa Arafah tanggal 8 Zulhijah? Inilah problem rukyat yang tidak dapat menyatukan tanggal secara global.
Mengenai rukyat untuk ketinggian Bulan 3º seperti di atas, di Indonesia biasanya diyakini ketinggian demikian memungkinkan rukyat. Akan tetapi kajian ilmiah tidak menunjukkan demikian. Seorang dosen ilmu falak mengatakan bahwa selama 7 tahun pengalamannya merukyat di Obsevatorium Bosscha belum pernah terjadi bahwa bulan berketinggian kurang dari 5º dapat dirukyat.
             Memang sering ada klaim rukyat padahal posisi Bulan masih amat rendah, bahkan masih di bawah ufuk. Hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa memang ada dorongan psikologis untuk cepat-cepat melihat hilal sehingga terjadi halusinasi di mana orang merasa melihat hilal padahal hilal sesungguhnya belum ada. Ini terjadi di berbagai negeri baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Arab Saudi penelitian tentang 45 kali Ramadan sejak Ramadan 1380 H sampai dengan Ramadan 1425 H, menunjukkan bahwa dari 45 kali Ramadan itu ternyata 29 kali hilal masih di bawah ufuk tetapi diklaim telah terukyat. Penetapan Zulhijah beberapa tahun terakhir juga ternyata Bulan masih di bawah ufuk. Pada tahun 1428 H (2007 M) penetapan Zulhijah Arab Saudi oleh Majlis al-Qadla’ al-A’la mendapat kecaman teramat pedas dari Islamic Crescents’ Observation Project (ICOP) dan diminta untuk mencabut penetapan tersebut. [Mengenai rukyat Saudi lihat dalam website ini artikel berjudul RUKYAT SAUDI, PUASA ARAFAH, DAN MENDESAKNYA PEMBUATAN KALENDER ISLAM TERPADU].
             Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan kuat agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Seruan ini masih belum banyak disadari lapisan luas masyarakat Muslim karena kekurangan wawasan dan hanya berpegang kepada tradisi yang diwarisi beberapa abad dari zaman lampau. Kenyataan di atas juga menunjukkan bahwa penyatuan penanggalan Islam tidak hanya cukup pada tingkat nasional masing-masing negara, karena adanya masalah puasa Arafah yang menyangkut lintas negara. Penyatuan penanggalan secara nasional saja belum sungguh-sungguh menyatukan karena ada masalah puasa Arafah. Oleh karena itu penyatuan penanggalan Islam itu harus internasional.
             Sebagai catatan akhir dapat disimpulkan bahwa metode rukyat tidak dapat menyatukan penanggalan umat Islam dan menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah. Ini artinya kita harus menggunakan hisab. Oleh karena itu marilah kita coba melapangkan dada dan menengok permasalahannya secara luas baik dari segi dalil-dalil nas al-Quran dan hadis maupun dari segi ilmu astronomi yang juga merupakan ilmu Allah “yang diuraikannya untuk menguak ayat-ayat-Nya bagi kaum yang mengetahui” [cf. Q. 10:5]. [Untuk melengkapi bacaan ini baca juga dalam website ini PUASA, IDULFITRI DAN HISAB-RUKYAT].
Kalasan, Yogyakarta,  18 Syakban 1431 H/ 30 Juli 2010 M
Syamsul Anwar  (Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiya